Kamis, 31 Maret 2011

Wali - Wali Allah SWT



قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللهَ قَالَ
 
: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
( صحيح البخاري )
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Allah subhanahu wata'ala berfirman: 
"Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku kumandangkan perang terhadapnya. Tidaklah seorang hamba mendekatiKu dengan sesuatu yang Aku cintai dari perbuatan yang Aku wajibkan padanya dan ia masih terus mendekatiKu dengan perbuatan-perbuatan sunnah hingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memegang, Aku menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya. Tidaklah Aku ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keraguanKu ketika hendak merenggut jiwa hambaKu yang beriman, dia membenci kematian sedang aku tak suka menyakitinya." ( Shahih Al Bukhari )

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ الْجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ هَدَاناَ بِعَبْدِهِ الْمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ ناَدَانَا لَبَّيْكَ ياَ مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلّمَّ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَالْحَمْدُلله الَّذِي جَمَعَنَا فِيْ هَذَا الشَّهْرِ اْلعَظِيْمِ وَفِي هَذِهِ الْجَلْسَة...
Limpahan puji kehadirat Allah, Maha Raja langit dan bumi, Maha Penguasa tunggal dan abadi, Maha melimpahkan keluhuran dan kebahagiaan bagi hamba-hambaNya di setiap waktu dan saat, Maha melimpahkan kelembutan dan kenikmatan yang tiada henti-hentinya kepadaku dan kalian, tidak satu detik pun rahmatNya terhenti untuk kita, tidak satu detik pun kasih sayang-Nya terhenti untuk kita terkecuali terus mengalir kepada kita, kenikmatan melihat, kenikmatan mendengar, kenikmatan berbicara, kenikmatan bergerak, kenikmatan berfikir, kenikmatan merenung, kenikmatan sanubari dan kenikmatan-kenikmatan luhur lainnya, dan kenikmatan-kenikmatan itu terus berlanjut, kenikmatan bernafas, kenikmatan penggunaan jantung dan seluruh tubuh kita, kenikmatan cahaya matahari, kenikmatan gelapnya malam, kenikmatan indahnya pemandangan, kenikmatan udara dan berjuta-juta kenikmtan lainnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman :
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
( ابراهيم : 34 )
" Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah kalian dapat menghitungnya ". ( Qs. Ibrahim : 34 )
Hal ini menunjukkan betapa banyak kenikmatan yang kita ketahui dan betapa lebih banyak kenikmatan yang tidak kita ketahui, dan Allah mengatakan bahwa manusia tidak akan pernah bisa menemukan jumlah kenikmatan itu. Semakin kita mempelajari maka akan semakin kita memahami baik secara ilmiah atau dengan hadits-hadits nabawiyah atau yang lainnya, secara logika atau pun dengan dalil, maka kenikmatan itu semakin kita pelajari maka akan semakin banyak dan semakin terbuka, semakin luas, semakin mulia, dan semakin indah. Demikianlah perbuatan Sang Maha Baik, demikian perbuatan Sang Maha Luhur dan Mulia, demikian perbuatan Sang Maha Indah, demikian perbuatan Sang Maha mencintai, demikian perbuatan Sang Maha Pemaaf, demikian perbuatan Sang Maha penyelamat, demikian perbuatan Sang Maha lemah lembut sehingga Dia ( Allah ) subhanahu wata'ala melipatgandakan perbuatan baik kita dan senantiasa siap mengampuni kesalahan-kesalahan kita, demikian indahnya Yang Maha indah, demikian mulia dan berkasih sayang Yang Maha berkasih sayang.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Allah subhanahu wata'ala berfirman :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ ، وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
( المائدة : 55- 56 )
" Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang ". ( QS. Al Maidah : 55- 56 )
Allah subhanahu wata'ala memberi pemahaman kepada kita, siapakah yang seharusnya kita jadikan sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan ?. Allah berfirman : " Sungguh yang melindungi kalian, yang menolong kalian dan yang bisa kalian mintai pertolongan adalah Allah dan RasulNya serta orang-orang yang beriman ", tetapi siapakah orang-orang yang beriman itu ?, maka Allah subhanahu wata'ala perjelas bahwa orang yang beriman adalah mereka yang mendirikan shalat, mereka yang menunaikan zakat, dan mereka yang memperbanyak melakukan ruku' yaitu banyak melakukan shalat sunnah di siang hari dan malam harinya, mereka yang dimaksud adalah para shalihin. Maka firman Allah bahwa pelindung kalian ( manusia ) adalah Allah, RasulNya dan para shalihin. Maka Allah melanjutkan firmanNya : " Barangsiapa yang mengambil perlindungan dari Allah, dari RasulNya dan dari orang-orang yang beriman, maka sungguh tentara Allah lah yang pasti akan menang ".
Kita fahami rahasia keluhuran, bagaimana jika kita meminta perlindungan kepada Allah. Di dalam riwayat Shahih Al Bukhari, ketika nabiyullah Ibrahim AS didekatkan dengan api Namrud, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : " Ketika nabiyullah Ibrahim didekatkan kepada api namrud untuk dibakar, maka kalimat terakhir yang diucapkan adalah : حسبي الله ونعم الوكيل( Cukuplah Allah untukku dan Dialah sebaik-baik pelindung )", maka Allah subhanahu wata'ala cukupkan Allah sebagai pelindungnya, kemudian Allah perintahkan api itu menjadi sejuk dan membawa keselamatan bagi nabiyullah Ibrahim As, dengan firmanNya :
ياَنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
( الأنبياء : 69 )
" Wahai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim". ( QS. Al Anbiyaa: 69 ),
Namun Allah juga memberi kesempatan bagi kita untuk meminta pertolongan kepada para rasul dan nabiNya, dan pemimpin para nabi dan rasul adalah sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana Allah subhanahu wata'ala berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
( النساء : 64(
" Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita'ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang ". ( QS. An Nisaa: 64 )
Maka ketika para sahabat merasa telah banyak berbuat dosa, maka mereka berdatangan kepada nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dan bertobat kepada Allah dihadapan nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, lantas Rasulullah pun memohonkan pengampunan dosa untuk mereka, maka pastilah mereka akan diampuni oleh Allah karena Allah Maha penerima taubat dan Maha Penyayang. Tadi kita berbicara tentang tiga pelindung bagi kita yaitu Allah, RasulNya, dan para shalihin. Yang pertama telah saya jelaskan sekilas, yang kedua berdasarkan dalil firman Allah dimana para shahabat berdatangan kepada Rasul untuk meminta perlindungan atas dosa-dosa mereka agar diampuni oleh Allah subhanahu wata'ala, dan banyak lagi riwayat Shahih Al Bukhari dimana ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah Jum'at, maka datanglah seorang dusun dari kejauhan, dan ketika Rasul sedang menyampaikan khutbah maka ia menyela dan berkata : " Wahai Rasulullah, kemarau tidak juga berakhir, hewan-hewan kami banyak yang mati, dan pohon-pohon kekeringan, tanah pecah terbelah dan kami sudah kehabisan air, maka mohonkanlah doa kepada Allah agar diturunkan hujan ". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdoa. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari bahwa sayyidina Anas bin Malik berkata : " Saat kami keluar dari shalat Jum'at, maka Rasul mengangkat tangan dan berdoa agar diturunkan hujan, dan belum Rasulullah menurunkan tangannya kecuali awan-awan telah berdatangan dari segala penjuru Madinah Al Munawwarah, dan belum selesai kami melakukan shalat kecuali tetesan-tetesan air hujan mulai turun membasahi jenggot Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam". Maka hujan pun turun sedemikian derasnya dan tidak berhenti selama satu minggu terus membasahi Madinah Al Munawwarah. Dan di hari Jum'at berikutnya, ketika Rasulullah berkhutbah maka orang dusun tadi datang dan berkata : "Wahai Rasulullah, rumah-rumah dan tumbuhan habis, air tidak tertahan dan banjir dimana-mana, maka mohonkan kepada Allah agar Allah menghentikan hujan ", maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdoa :
اَللّهُمَّ حَوَالَيْناَ لَا عَلَيْنَا
" Ya Allah (hujan) disekitar kami saja, jangan di atas kami"
Maka Rasulullah memberi isyarat kepada awan, dan awan-awan yang diisyaratkan pun tunduk atas intruksi dari Rasul shallallahu 'alaihi wasallam sehingga Madinah Al Munawwarah bagaikan kubah yang bolong karena di atasnya di sekitar Madinah awan gelap masih menggumpal dan hujan deras, kecuali Madinah Al Munawwarah yang terik diterangi sinar matahari dan tidak ada setetes air hujan pun. Diriwayatkan di dalam syarah Fathul Bari dan riwayat lainnya bahwa hujan di sekitar Madinah itu berlangsung hingga sebulan. Demikianlah permohonan meminta perlindungan kepada Rasulullah. Begitu juga meminta perlindungan kepada para shalihin yang mana hal ini banyak teriwayatkan dalam riwayat yang tsiqah, diantaranya riwayat Shahih Al Bukhari kejadian yang sama di masa Khalifah Umar bin Khattab Ra, ketika mereka dalam keadaan kemarau yang panjang, mereka pun datang kepada sayyidina Umar bin Khattab untuk memintakan doa kepada Allah agar diturunkan hujan, maka sayyidina Umar bertawassul kepada sayyidina Abbas bin Abdul Mutthalib Ra dan hujan pun turun, demikian riwayat Shahih Al Bukhari. Fahamlah kita bahwa Allah membuka perlindunganNya dari Allah subhanahu wata'ala, dan dari para rasulNya dan juga dari para hambaNya yang shalih.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Sampailah kita pada hadits mulia ini, firman Allah subhanahu wata'ala dalam hadits qudsi :
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
"Barangsiapa yang memusuhi waliKu (kekasih-Ku), orang-orang yang Kucintai maka Aku umumkan padanya perang"
Maksudnya ia adalah musuh besar Allah jika ia membenci dan memusuhi kekasih Allah, kecuali ia bertobat. Jika ia bertobat, maka tentunya dimaafkan oleh Allah subhanahu wata'ala. Mengapa Allah subhanahu wata'ala murka jika mereka para kekasihNya dibenci?, karena para kekasih Allah tidak mempunyai sifat dendam dan mereka tidak marah tetapi yang marah adalah Allah subhanahu wata'ala karena Allah mencintai mereka, Allah subhanahu marah karena wali Allah yang dibenci tidak benci kepada yang membencinya, maka Allah subhanahu wata'ala yang murka kepada orang itu. Siapakah para kekasih Allah itu?, firman Allah dalam hadits qudsi :
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Tiadalah seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah menuju keridhaan Allah, menuju kasih sayang Allah yang beramal dengan hal-hal yang telah diwajibkan kepadanya seperti shalat wajib, puasa ramadhan, zakat, dan haji. ( Namun untuk saudari kita yang baru masuk Islam tidak dipaksakan untuk melakukan hal-hal yang fardhu di dalam syariah islamiyah kecuali semampunya saja, yang mampu dijalankan dan yang masih terasa berat jangan dilakukan, karena iman itu butuh waktu dalam mencapai kemapanan untuk mampu melaksanakan segala hal-hal yang fardhu ). Dan hamba itu tidak berhenti hanya mengamalkan hal-hal yang wajib saja, tetapi meneruskan juga dengan hal-hal yang sunnah untuk terus mendekat kepada Allah sampai Allah mencintainya, maka ia telah menjadi kekasih Allah karena ia mengamalkan hal-hal yang fardhu dan yang sunnah, amalan yang seperti apa? Tentunya yang diajarkan oleh sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, baik amalan yang fardhu atau pun yang sunnah yang mana yang kita ketahui kalau bukan ajaran sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Kesimpulannya, ketika seseorang mengikuti ajaran sang nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dalam kehidupannya dan semampunya maka ia akan mencapai cinta Allah subhanahu wata'ala, dan tidaklah seseorang mencapai derajat orang yang dicintai Allah ( Wali Allah ) kecuali ia telah mengikuti tuntunan sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, beliaulah masdar al awliyaa dan manba' al awliyaa ( sumber para wali ). Dan jikalau Allah telah mencintai hamba-Nya, maka Allah menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Allah akan menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, Allah akan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk membela diri , Allah akan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Tentunya maksudnya bukan secara makna kalimat, tetapi mengandung majas yaitu makna kiasan. Maksudnya adalah jika seseorang telah taat kepada Allah, selalu ingin berbuat yang luhur, selalu menghindari hal yang hina, maka apa-apa yang ia dengar menjadi rahmat Allah subhanahu wata'ala, seperti jika ia mendengar aib orang lain maka ia doakan orang itu, ia mendengar cacian dan umpatan dari orang lain maka ia doakan orang itu, semua yang ia dengar menjadi rahmat Allah subhanahu wata'ala. Semua hal yang ia lihat menjadi rahmatnya Allah subhanahu wata'ala, misalnya ia melihat orang berbuat dosa maka ia doakan agar ia diampuni dosanya oleh Allah dan diberi hidayah, matanya yang melihat membawa rahmat Allah subhanahu wata'ala, tangan dan kakinya pun demikian, hari-harinya pun demikian. Maka maksud firman Allah dalam hadits qudsi itu adalah Allah memancarkan rahmat dan cahayaNya dari hamba itu, melalui penglihatannya, pendengarannya, ucapannya, dan hari-harinya penuh rahmat Allah subhanahu wata'ala, demikianlah keadaan para wali Allah. Maka jika hamba itu meminta kepada Allah maka Allah kabulkan permintaannya, dan jika ia memohon perlindungan kepada Allah maka Allah akan melindunginya. Allah melanjutkan firman-Nya dalam hadits qudsi :
وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
"Tidaklah Aku ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keraguanKu ketika hendak merenggut jiwa hambaKu yang beriman, dia membenci kematian sedang aku tak suka menyakitinya".
Yang dimaksud bukanlah Allah subhanahu wata'ala ragu dalam menentukan sesuatu untuk hambanya, karena Allah tidak memliki sifat ragu. Al Imam Ibn Hajar di dalam Fathul Bari bisyarah Shahih Al Bukhari mensyarahkan makna hadits ini, bahwa yang dimaksud adalah Allah subhanahu wata'ala merasa berat jika ingin menentukan suatu ketentuan yang bisa membuat para kekasih-Nya kecewa. Allah tidak pernah merasa berat dalam menentukan sesuatu, kecuali kepada para walinya karena Allah subhanahu wata'ala tidak ingin mengecewakan mereka. Allah tidak mau mengecewakan para kekasih-Nya, jika kekasih-Nya belum ingin wafat maka Allah tidak mau mewafatkannya. Maka ketika Allah mengundang hamba-Nya untuk wafat namun hamba-Nya masih ragu untuk wafat maka Allah tidak mau mewafatkannya, Allah panjangkan usianya, kenapa? karena ia telah menjadi kekasih Allah. Bukan berarti Allah mengikuti semua yang dia inginkan, tetapi Allah sangat mencintainya dan tidak mau mengecewakannya. Tetapi banyak kejadian di masa nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, beliau didzalimi, disakiti, dan dianiaya ?!, ingat ucapan Allah subhanahu wata'ala :
وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
" Dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya "
Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak ingin musuhnya celaka, maka beliau diam saja atas perbuatan musuh-musuhnya, sampai jika sesuatu itu membahayakan muslimin barulah beliau bertindak membela diri, tetapi jika hanya membahayakan dirinya sendiri maka beliau hanya bersabar dan bertahan, beliau tidak ingin kecelakaan terjadi pada musuh-musuhnya dan beliau masih berharap mereka bertobat dan kembali kepada keluhuran. Sebagaimana dalam riwayat Shahih Al Bukhari di saat perang Uhud ketika panah menembus tulang rahang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka di saat itu darah mengalir Rasulullah sibuk menahan darah agar tidak sampai jatuh ke tanah, para sahabat berkata: " wahai Rasulullah biarkan saja darah itu mengalir ", diriwayatkan oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany di dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menahan darah yang mengalir jangan sampai jatuh ke tanah, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : " Kalau ada setetes darah dari wajahku yang jatuh ke tanah, maka Allah akan tumpahkan musibah yang dahsyat bagi mereka orang-orang Quraisy yang memerangiku ". Allah murka jika ada setetes darah dari wajah Rasulullah sampai tumpah ke bumi, maka Rasulullah menjaga agar jangan sampai ada setetes darah pun yang mengalir ke bumi, dan beliau tidak peduli ada panah yang menancap di rahang beliau, beliau memikirkan jangan sampai musibah turun kepada orang yang memeranginya. Inilah sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam .
Demikian pula perbuatan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kepada sayyidina Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, sebagaimana dalam riwayat Shahih Al Bukhari bahwa dia adalah seorang yang beriman tetapi ayahnya adalah pemimpin munafik yang paling jahat kepada nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, berkelompok dengan orang-orang yang memusuhi nabi, mengabarkan berapa jumlah tentara nabi, berapa senjatanya, kapan keluar Madinah, kapan masuk Madinah, kapan perdagangan di Madinah, kapan orang-orang Madinah berdagang keluar dan lainnya, semua itu yang membocorkannya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, sungguh jahat sekali tetapi anaknya adalah orang yang beriman, ia bernama Abdullah juga. Maka sayyidina Abdullah datang kepada Rasul dan berkata : " Wahai Rasulullah, ayahku sudah sakaratul maut dan tidak ada yang mau mengurus jenazahnya ", kenapa? karena teman-temannya yang munafik tidak mau mengurus jenazahnya, mereka takut jika mereka mnegurusi jenazahnya maka orang-orang muslim mengetahui bahwa mereka adalah pengikut Abdullah bin Ubay juga, sedangkan orang-orang muslim juga tidak mau mengurusi jenazah itu karena jelas-jelas yang wafat adalah pimpinan orang munafik yang sangat jahat, dimana ketika orang muslim mengirim bahan makanan atau ke Madinah dimonopoli oleh Abdullah bin Ubay, mau mengirimkan bantuan atau perdagangan ke Madinah dirampok karena kapalnya sudah dibocorkan oleh Abdullah bin Ubay, justru mereka orang muslim senang dengan wafatnya Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bangkit dan berdiri untuk mengurus jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul, maka sayyidina Umar berkata : " Wahai Rasulullah, dia pimpinan munafik jangan engkau urus jenazahnya ", maka Rasulullah berkata: " biarkan aku wahai Umar ",maka Rasulullah lah yang memandikannya, Rasul yang mengkafaninya , Rasul yang menshalatinya, Rasul yang menurunkannya ke kuburnya, Rasul yang mendoakannya, lalu turunlah ayat :
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
( التوبة : 84 )
" Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." ( QS. At Tawbah : 84 )
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
( التوبة : 80 )
" Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Meskipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik." ( QS. At Tawbah : 80 )
Di dalam ayat ini ada makna yang tersembunyi, dijelaskan oleh guru mulia kita Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh menukil makna syarh ayat ini bahwa Allah subhanahu wata'ala sangat mencintai nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Nabi Muhammad tidak menentang Allah, beliau diciptakan oleh Allah penuh dengan sifat lemah lembut, maka Allah biarkan beliau mengurus jenazah Abdullah bin Ubay, dan setelah semua selesai barulah turun larangan dari Allah subhanahu wata'ala, maksudnya supaya orang munafik yang lain tau bahwa jenazah orang yang seperti itu tidak boleh dishalati sehingga mereka mau bertobat . Kalau seandainya Allah subhanahu wata'ala betul-betul tidak menginginkannya, maka sebelum Rasulullah melakukannya pastilah dilarang tetapi justru Allah melarang setelah Rasulullah melakukannya, supaya menjadi pelajaran bagi orang munafik yang lainnya untuk tidak memusuhi dakwah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu Rasulullah berkata kepada sayyidina Umar : " Wahai Umar, engkau lihat firman Allah bahwa aku tidak boleh memohonkan pengampunan untuk Abdullah bin Ubay bin Salul karena Allah tidak mau mengampuninya walaupun 70 kali aku memohonkan pengampunan, wahai Umar kalau aku tau bahwa Allah akan mengampuninya jika kumintakan pengampunan lebih dari 70 kali, maka akan kumintakan pengampunan untuk Abdullah bin Ubay bin Salul ",misalnya Allah menuntut harus 1000 kali nabi memintakan pengampunan untuk Abdullah bin Ubay maka beliau akan mintakan pengampunan itu demi keselamatan Abdullah bin Ubay bin Salim dari kemurkaan Allah subhanahu wata'ala. Demikian mulianya sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Dan hubungan Rasulullah dengan mereka yang non muslim tetap baik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak memusuhi orang-orang yang tidak memusuhi muslimin. Ketika dalam perang Tabuk yang terjadi pada bulan Sya'ban, dimana raja Yohana telah mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam walaupun dia tidak masuk Islam, namun dia tunduk kepada nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajukan kepadanya untuk membayar jizyah ; seperti zakat tetapi untuk non muslim, jika untuk orang muslim disebut zakat dan untuk orang non muslim disebut Jizyah. Jizyah itu jauh lebih kecil dari zakat, maka sebagian orang non muslim berkata :
 " orang muslim kejam, orang non muslim kok harus bayar jizyah ", tidak demikian justru lebih ringan karena untuk orang muslim ada 7 macam zakat, diantaranya zakat fitrah, zakat tijarah, zakat tsimar, zakat ma'din, zakat rikaz, zakat hewan ternak, dan zakat emas dan perak, tetapi kalau non muslim hanya satu saja yang disebut dengan jizyah. Ketika dia ( raja Yohana ) telah membayar jizyah, maka Rasulullah menulis surat yang berisi : " Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Nabiyullah dan Rasulullah, dengan ini aku telah menuliskan dan mengamanatkan bahwa raja Yohana telah membuat perjanjian denganku, maka dia aman, hartanya, perahu-perahunya yang dan kendaraan-kendaraannya kesemuanya aman, dia aman di darat dan di laut dengan jaminan keselamatan Allah dan Rasul-Nya". Rasulullah yang menjamin keselamatannya, Rasul yang menjamin ia agar terjaga dari gangguan-gangguan orang lain dan musuh-musuhnya. Dan diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari ketika salah seorang Yahudi memohon izin untuk tinggal di rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka Rasul izinkan, bukan melarangnya atau mengatakan : " kamu najis, tidak boleh masuk ke rumahku ", tidak demikian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka pemuda Yahudi itu pun tinggal bersama Rasul, duduk bersama Rasul, makan bersama Rasul, tidur seatap dengan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. Kita mengetahui yang masuk ke rumah Rasul tidak sembarang orang, tetapi pemuda Yahudi ini bahkan tinggal bersama Rasul berkhidmah kepada beliau, membawakan makanan dan pakaian nabi tetapi beliau tidak memaksakannya untuk masuk kedalam Islam sampai pemuda itu sakit, ketika sakit ia pulang ke rumahnya dan tidak lagi datang ke rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka Rasulullah menjenguknya ke rumahnya bukannya Rasul senang atau mengatakan : " baguslah orang non muslim itu keluar dan tidak lagi datang ke rumahku ", tidak demikian bahkan Rasul menjenguknya dan sesampainya beliau di rumah pemuda itu, beliau dapati pemuda itu sudah sakaratul maut, di saat itulah Rasul shallallahu 'alaihi wasallam membisikkan kepadanya : " katakan : " Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah ", maka pemuda itu melihat kepada ayahnya yang juga orang Yahudi apakah ayahnya mengizinkannya atau tidak untuk mengucapkan kalimat itu, maka ayahnya berkata : "Taatilah Abu Al Qasim ", maka anaknya pun mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah kemudian wafat, maka Rasulullah pun memakamkannya kemudian pulang ke rumah dengan wajah yang bersinar dan terang benderang bagaikan sinar bulan purnama karena begitu gembiranya . Maka para sahabat bertanya : " Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu gembira sehingga engkau terlihat begitu terang benderang ", maka Rasulullah berkata : " Aku sangat gembira karena Allah telah memberinya hidayah ". Hadirin hadirat, orang yang paling menginginkan semua non muslim masuk Islam adalah nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, namun beliau mengetahui adab kepada Allah bahwa Allah lah yang memilihkan hidayah, mana yang dikehendaki dan mana yang belum dikehendaki Allah subhanahu wata'ala.
Maka kita fahami rahasia keluhuran bagaimana Allah subhanahu wata'ala mencintai kekasih-kekasihNya, para nabi dan wali-Nya. Dan kita lihat dalam beberapa hari ini kita sudah kehilangan dua orang Al Arif Billah ; As Syaikh Muzhir bin Abdurrahman An Naziri Al Hasani dan Fadhilah As Sayyid Al Arif billah Al Habib Husain bin Umar bin Hud Al Atthas 'alaihima rahmatullah wamaghfiratullah. Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda riwayat Shahih Al Bukhari :
يَذْهَبُ الصَّالِحُونَ الأَوَّلُ فَاْلأَوَّلُ وَيَبْقَى ‏حُفَالَةٌ ‏‏كَحُفَالَةِ الشَّعِيرِ أَوِ التَّمْرِ لاَ يُبَالِيهِمُ اللَّهُ بَالَةً
( صحيح البخاري )
“Orang-orang shalih telah pergi (wafat), satu per satu, sampai tidak tersisa seorangpun kecuali manusia-manusia yang buruk, ibarat sampah gandum atau ampas kurma yang Allah tidak lagi mempedulikan mereka sedikitpun." ( Shahih Al Bukhari )
Akan terus wafat para shalihin satu persatu meninggalkan bumi, sampai nanti tersisa orang-orang yang tidak lagi peduli dengan Allah, dan Allah pun tidak peduli dengan keadaan mereka. Maka semoga Allah menumbuhkan lagi generasi shalihin yang baru, amin.
Mari kita selalu menjalin hubungan baik khususnya dengan Allah subhanahu wata'ala, dengan memperbanyak ibadah, memperbanyak sujud, memperbanyak kemuliaan, ingatlah beberapa hari lagi kita akan sampai ke bulan Ramadhan yang digelari dengan syahrussujud, bulan seribu sujud , karena kalau kita shalat tarawih setiap malam 20 raka'at dan witir 3 rakaat maka jumlahnya 23 raka'at, dalam 1 rakaat 2 kali sujud berarti jika tarawihnya setiap malam 20 rakaat maka setiap malam 40 sujud dikalikan 30 hari = 1200 sujud dalam satu bulan, itu shalat tarawihnya saja , belum lagi ditambah witir dan shalat sunnah yang lainnya, maka bulan Ramadhan itu digelari bulan seribu sujud karena muslimin melakukan shalat Tarawih di bulan itu sehinnga melakukan sujud lebih dari 1000 kali sujud. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari :
حَرَّمَ اللهُ عَلَى النَّارِ أَنْ تَأْكُلَ أَثَرَ السُّجُوْدِ
" Allah mengharamkan api neraka memakan ( menyentuh ) bekas sujud " ( Shahih Al Bukhari )
Anggota tubuh yang digunakan untuk bersujud tidak boleh disentuh oleh api neraka, demikian Allah haramkan kepada api neraka untuk tidak menyentuh anggota sujud. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda riwayat Shahih Muslim :
أَقْرَبُ اْلعَبْدُ إِلَى اللهِ مَنْزِلَةً وَهُوَ سَاجِدٌ
“Keadaan yang paling dekat antara seorang hamba dengan Allah SWT yaitu ketika dia sedang sujud”
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa sayyidina Tsauban Ra ditanya oleh para sahabat apakah amal yang paling dicintai Allah, maka ia diam sehingga para sahabat terus mendesaknya akhirnya ia pun berkata : " pertanyaanmu sudah pernah kutanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan Rasulullah berkata : " perbanyaklah sujud ", karena barangsiapa yang sujud satu kali sujud maka terangkatlah dosanya, dan derajatnya terangkat semakin dekat dengan Allah setiap kali ia sujud. Diriwayatkan oleh sayyidina Rabi'ah bin Ka'ab Ra dalam Shahih Muslim ia berkata : " ketika aku berkhidmat kepada nabi selama berhari-hari, aku membawakan makanannya, minumannya, dan air wudhunya kepada nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, sampai ketika aku pamit maka beliau berkata : " mintalah apa yang engkau inginkan dariku ", maka sayyidina Rabi'ah bin Ka'ab berkata : " Wahai Rasulullah, aku meminta agar aku bisa bersamamu kelak di surga, sebagaimana aku menemanimu di dunia, aku ingin pula bisa menemanimu di surga ", maka Rasulullah menjawab : " Bantulah aku untuk mendapatkan keinginanmu dengan memperbanyak sujud ".
Bulan Ramadhan adalah bulan suci semoga rahasia kemuliaan sujud berlimpah kepada kita, dan semoga Allah memuliakan kita dengan keluhuran sujud, dengan cahaya sujud dan kesejukan sujud. Bukakan bagi kami kelezatan sujud, keindahan sujud sehingga kami asyik bersujud mensucikan nama-Mu wahai Yang Pada-Mu kami bersujud, sebagaimana telah Engkau tundukkan kami untuk hanya sujud kepada-Mu, maka tundukkan hati kami untuk tidak tunduk dan sujud kecuali hanya kepada-Mu wahai Allah, jadikanlah penolong kami adalah dzat-Mu , jadikanlah penolong kami adalah Rasul-Mu, jadikanlah penolong kami adalah para shalihin-Mu Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah limpahkan keberkahan kepada kami di bulan Sya'ban dan sampaikan kami pada keberkahan bulan Ramadhan. Ya Rahman Ya Rahim muliakan semua yang hadir di malam hari ini, dan jangan satu pun dari hajat kami yang tertolak, arahkan takdir kami selalu kepada keluhuran dan kebahagiaan , jangan sampai arah takdir kami menuju musibah dan kesusahan kecuali Engkau palingkan arah takdir kami, arah kehidupan kami kepada hal-hal yang Engkau ridha, kepada hal-hal yang Engkau cinta, kepada hal-hal yang Engkau muliakan, dan limpahkanlah rahmat dan kemuliaan lebih dari yang aku minta, limpahilah hajat lebih dari yang kami mohon, Engkau selalu memberi lebih dari yang kami minta, jika aku beramal dengan satu amal maka Engkau membalasnya dengan sepuluh kali hingga tujuh ratus kali lipat, kami meminta satu doa maka berilah kami sepuluh hajat hingga tujuh ratus hajat, Ya Rahman Ya Rahim Ya Dzal Jalaly wal Ikram Ya Dazttawli wal In'am …

Senin, 07 Maret 2011

KENAPA MENYAMBUT MAULID NABI??? INILAH HUJJAH-HUJJAHNYA.


SEJARAH PERINGATAN MAULID NABI
Siapakah orang yang pertama menyambut maulid Nabi???
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:
“Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan,` alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahawa dalam peringatan tersebut Sultan al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama’ dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama’ dalam bidang ilmu fiqh, ulama’ hadits, ulama’ dalam bidang ilmu kalam, ulama’ usul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan mawlid Nabi beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama’ saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandang dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang dibuat untuk pertama kalinya itu.
Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A`yan menceritakan bahawa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Moroco menuju Syam dan seterusnya ke menuju Iraq, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijrah, beliau mendapati Sultan al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh kerana itu, al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “al-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Sultan al-Muzhaffar.
Para ulama’, semenjak zaman Sultan al-Muzhaffar dan zaman selepasnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahawa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-’Iraqi (W. 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani (W. 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H), al-Hafizh aL-Sakhawi (W. 902 H), SyeIkh Ibn Hajar al-Haitami (W. 974 H), al-Imam al-Nawawi (W. 676 H), al-Imam al-`Izz ibn `Abd al-Salam (W. 660 H), mantan mufti Mesir iaitu Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W. 1354 H), Mantan Mufti Beirut Lubnan iaitu Syeikh Mushthafa Naja (W. 1351 H) dan terdapat banyak lagi para ulama’ besar yang lainnya. Bahkan al-Imam al-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Hukum Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid`ah-bid`ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 Hijrah. Ini bererti perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak bererti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Kerana segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam sendiri. Para ulama’ menyatakan bahawa perayaan Maulid Nabi adalah sebahagian daripada bid`ah hasanah (yang baik). Ertinya bahawa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru tetapi ia selari dengan al-Qur’an dan hadith-hadith Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
Dalil-Dalil mengenai Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadith nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari`at Islam. Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ  .....   رواه مسلم في صحيح
Artinya:
“Barang siapa yang melakukan (merintis) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala daripada perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya selepasnya, tanpa dikurangkan pahala mereka sedikitpun”.
(Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya).
Faedah daripada Hadith tersebut:
Hadith ini memberikan kelonggaran kepada ulama’ ummat Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam untuk melakukan perkara-perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah, Athar (peninggalan) mahupun Ijma` ulama’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian bererti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, bererti ia telah mempersempit kelonggaran yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada zaman Nabi.
2. Dalil-dalil tentang adanya Bid`ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid`ah.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim di dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan bahawa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir’aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:
“أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ”.
Artinya:
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)”.
Lalu Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat baginda untuk berpuasa.
Faedah daripada Hadith tersebut:
Pengajaran penting yang dapat diambil daripada hadith ini ialah bahawa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan bersyukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Sama ada melakukan perbuatan bersyukur kerana memperoleh nikmat atau kerana diselamatkan dari bahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan sebagainya. Bukankah kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?!
Adakah nikmat yang lebih agung daripada dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan kurniaan yang lebih agung daripada pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani.
4. Hadits riwayat al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Bahawa Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Isnin, beliau menjawab:
“ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ”.
Artinya:
“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”.
(Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim)
Faedah daripada Hadith tersebut:
Hadith ini menunjukkan bahawa Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam melakukan puasa pada hari Isnin kerana bersyukur kepada Allah, bahawa pada hari itu baginda dilahirkan. Ini adalah isyarat daripada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam, ertinya jika baginda berpuasa pada hari isnin kerana bersyukur kepada Allah atas kelahiran baginda sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tersebut untuk kita melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahiran baginda, bersedekah, atau melakukan perbuatan baik dan lainnya. Kemudian, oleh kerana puasa pada hari isnin diulangi setiap minggunya, maka bererti peringatan maulid juga diulangi setiap tahunnya. Dan kerana hari kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam masih diperselisihkan oleh para ulama’ mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka boleh sahaja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak menjadi masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh al-Hafizh al-Sakhawi seperti yang akan dinyatakan di bawah ini.
Fatwa Beberapa Ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah:
1. Fatwa al-Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadith al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani. Beliau menyatakan seperti berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَن تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ
Artinya:
“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukikanl daripada (ulama’) al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik sahaja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang thabit (Sahih)”.
2. Fatwa al-Imam al-Hafizh al-Suyuthi. Beliau mengatakan di dalam risalahnya “Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut:
عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ
Artinya:
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadith-hadith tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) yang melakukannya akan memperolehi pahala. Kerana perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakkan (menzahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (rasulullah) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan al-Muzhaffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami` al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa al-Imam al-Hafizh al-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut:
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ
Artinya:
“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian al-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling sahih adalah malam Isnin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh kerananya tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya” .
Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama’ terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang suci bersih, maka kita akan mengetahui bahawa sebenarnya sikap “BENCI” yang timbul daripada sebahagian golongan yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasari kepada hawa nafsu semata-mata. Orang-orang seperti itu sama sekali tidak mempedulikan fatwa-fatwa para ulama’ yang saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat menghinakan ialah bahawa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan hari Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, kerana sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa segan sama sekali berkata:
إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ
Artinya:
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.
Golongan yang anti maulid seperti WAHHABI menganggap bahawa perbuatan bid`ah seperti menyambut Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik (kekufuran). Dengan demikian, menurut mereka, lebih besar dosanya daripada memakan daging babi yang hanya haram sahaja dan tidak mengandungi unsur syirik (kekufuran).
Jawab:
Na`uzu Billah… Sesungguhnya sangat kotor dan jahat perkataan orang seperti ini. Bagaimana ia berani dan tidak mempunyai rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, yang telah dipersetujui oleh para ulama’ dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ulama’-ulama’ ahli hadith dan lainnya, dengan perkataan buruk seperti itu?!
Orang seperti ini benar-benar tidak mengetahui kejahilan dirinya sendiri. Apakah dia merasakan dia telah mencapai darjat seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani, al-Hafizh al-Suyuthi atau al-Hafizh al-Sakhawi atau mereka merasa lebih `alim dari ulama’-ulama’ tersebut?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukumnya haram di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada unsur pengharamannya dari nas-nas syari’at agama?! Ini bererti, bahawa golongan seperti mereka yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam (tingkatan-tingkatan hukum). Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah (harus), mana yang haram dengan nas (dalil al-Qur’an) dan mana yang haram dengan istinbath (mengeluarkan hukum). Tentunya orang-orang ”BODOH” seperti ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan ikutan dalam mengamalkan agama ISLAM ini.
Pembacaan Kitab-kitab Maulid
Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Al-Hafizh al-Sakhawi menyatakan seperti berikut:

وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ– وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ
Artinya:
“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka sepatutnya yang dibaca itu hanya yang disebutkan oleh para ulama’ ahli hadith di dalam kitab-kitab mereka yang khusus menceritakan tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karangan al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandungi tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il al-Nubuwwah karangan al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudhah Nabi. Kerana kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus mengeluarkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justeru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarangnya untuk dibaca. Padahal sebenarnya tidak boleh ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud (tidak loba kepada dunia), mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.
Kesesatan fahaman WAHHABI yang Anti Maulid:
Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:
“Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik nescaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tidak melakukannya, adakah baginda melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak semestinya menjadi sesuatu yang haram. Tetapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Disebabkan itu Allah ta`ala berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا”  .....    الحشر:7
Artinya:
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
(Surah al-Hasyr: 7)
Dalam firman Allah ta`ala di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole Rasulullah atas kalian, maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini Berertinya bahawa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tetapi bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Sesuatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.
Lalu kita katakan kepada mereka:
“Apakah untuk mengetahui bahawa sesuatu itu boleh (harus) atau sunnah, harus ada nas daripada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam secara langsung yang khusus menjelaskannya?”
Apakah untuk mengetahui boleh (harus) atau sunnahnya perkara maulid harus ada nas khusus daripada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam yang menyatakan tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah menyatakan atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nas-nas syari`at, baik ayat-ayat al-Qur’an mahupun hadith-hadith nabi, itu semua terbatas, ertinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus muncul dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah secara langsung, lalu dimanakah kedudukan ijtihad (hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid berpandukan al-Quran dan al-Hadith) dan apakah fungsi ayat-ayat al-Quran atau hadith-hadith yang memberikan pemahaman umum?! Misalnya firman Allah ta`ala:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ”   .......  الحج: 77
Artinya:
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung”.
(Surah al-Hajj: 77)
Adakah setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam supaya ia dihukumkan bahawa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak sedemikian. Dalam masalah ini Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis panduan sahaja. Kerana itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebutkan dengan Jawami` al-Kalim ertinya bahawa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadith sahih, Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ  .......   رواه الإمام مسلم في صحيحه
Ertinya:
“Barangsiapa yang melakukan (merintis perkara baru) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”.
(Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalam Sahih-nya).
Dan di dalam hadith sahih yang lainnya, Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ”. ....رواه مسلم
Artinya:
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”.
(Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim)
Dalam hadith ini Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam menegaskan bahawa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan daripada sebahagian syari`atnya”. Ertinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari`at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan sabda Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam di dalam hadith di atas: “Ma Laisa Minhu”. Kerana, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya, maka perkara tersebut pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai`an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini, maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka bererti hal ini bertentangan dengan hadith yang driwayatkan oleh al-Imam Muslim di atas sebelumnya. Iaitu hadith: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan….”.
Padahal hadith yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim ini mengandungi isyarat anjuran bagi kita untuk membuat sesuatu perkara yang baru, yang baik, dan yang selari dengan syari`at Islam. Dengan demikian tidak semua perkara yang baru itu adalah sesat dan ia tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan melihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara`. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika ia menyalahi, maka tentu ia tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan seperti berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
Artinya:
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah (yang dicela) menurut tahqiq (penelitian) para ulama’ adalah bahawa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara` bererti ia termasuk bid`ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara` maka berarti termasuk bid’ah yang buruk (yang dicela)”.
Bolehkah dengan keagungan Islam dan kelonggaran kaedah-kaedahnya, jika dikatakan bahawa setiap perkara baharu itu adalah sesat?
2. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dimasuki oleh perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab:
Apakah kerana alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya, Apakah seseorang itu haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Kerana itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani telah menyatakan bahawa:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً
Artinya:
“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukil dari kaum al-Salaf al-Saleh pada tiga abad pertama, tetapi meskipun demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid serta berusaha melakukan hal-hal yang baik sahaja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid`ah hasanah”.
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:
“Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan membazirkan. Mengapa tidak digunakan sahaja untuk keperluan ummat yang lebih penting?”.
Jawab:
Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah… Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama’ disebutnya sebagai
membazir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan membazir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu sahaja beranggapan bahawa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan baginda?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam dan menjadikan kita banyak berselawat kepada baginda?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar seperti ini bagi orang yang beriman tidak boleh diukur dengan harta.
4. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata:
“Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah membangkitkan semangat ummat untuk berjihad. Bererti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh kerananya peringatan maulid tidak perlu”.
Jawab:
Kenyataan seperti ini sangat pelik. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahawa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Salahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahawa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahawa sultan Salahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “fitnah yang jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahawa sultan Salahuddin membuat maulid untuk tujuan membangkitkan semangat umat untuk berjihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini bererti telah menyimpang, adalah perkataan yang sesat lagi menyesatkan.
Tujuan mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu menyambutnya. Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang yang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Salahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Salahuddin sahaja? Dan apakah di dalam berjuang harus mengikuti cara dan strategi Sultan Salahuddin sahaja, dan jika tidak, ia bererti tidak dipanggil berjuang namanya?! Hal yang sangat menghairankan ialah kenapa bagi sebahagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighatsah (meminta pertolongan) boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul (memohon doa agar didatangkan kebaikan), tetapi kemudiannya terhadap orang lain, mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.
Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun daripada mereka yang mengisyaratkan bahawa tujuan maulid adalah untuk membangkitkan semangat ummat untuk berjihad di dalam perang di jalan Allah. Lalu dari manakah muncul pemikiran seperti ini?!
Tidak lain dan tidak bukan, pemikiran tersebut hanya muncul daripada hawa nafsu semata-mata. Benar, mereka selalu mencari-cari kesalahan sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahawa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya membangkitkan semangat untuk berjihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada. Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh al-Suyuthi, al-Hafizh al-Sakhawi dan para ulama’ lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan membangkitkan semangat untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut perihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rapuhnya dan tidak didasari perkataan mereka itu apabila berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidhal. Semoga Allah merahmati para ulama’ kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai ikutan bagi kita semua menuju jalan yang diredhai Allah. Amin Ya Rabb.